6 Kebiasaan Pagi Hari Untuk Fokus Sepanjang Hari



Kita semua tahu bahwa menjaga diri tetap fokus saat bekerja adalah hal yang sulit. Distraksi bisa datang dari mana saja, baik dari lingkungan sekitar atau justru dari diri kita sendiri. Adalah hal manusiawi untuk kehilangan fokus setelah bekerja keras dalam jangka waktu tertentu, karena itu disarankan kita istirahat sejenak setiap beberapa saat. Namun, bila kamu merasa sangat mudah terdistraksi saat bekerja, mungkin kamu butuh kegiatan baru untuk mengawali harimu. Mau coba? 



1. Mandi air dingin
Secangkir kopi hangat di pagi hari memang bisa membuatmu terjaga namun efek sampingnya juga bisa membuatmu mudah gelisah. Yang lebih ampuh membuatmu terjaga di pagi hari adalah mandi dengan air dingin yang seketika membangunkan semua indramu. 

2. Jalan kaki
Olahraga di pagi hari selain membuat tubuh terasa segar juga membantu kamu tetap fokus. Tak perlu yang berat-berat, sekadar jalan kaki pun sudah cukup. Selain sehat, jalan kaki di pagi hari juga dapat memberimu waktu untuk berpikir dan menemukan ide-ide segar. Sisihkan waktu sejenak untuk berjalan kaki di pagi hari ketika matahari belum terlalu terik dan udara masih sejuk. Sambil berjalan, kamu bisa memikirkan hal-hal yang harus kamu kerjakan hari itu secara santai dan teratur sehingga saat tiba di kantor kamu sudah tahu apa saja yang harus kamu lakukan. 

3. Mencari kebiasaan rutin
Bagi beberapa orang, fokus ke suatu hal (selain pekerjaan) yang bisa mereka lakukan kapan saja di jam kerja dapat membantu mereka lebih berkonsentrasi sepanjang hari. Beberapa orang punya ritual khusus untuk memulai pagi hari. Ada yang suka membuat kopi sendiri, ada yang melakukan yoga ringan, dan kebiasaan lainnya yang bisa disesuaikan dengan minat Anda. 

4. Menentukan satu hal untuk diselesaikan di awal
Banyak pakar produktivitas kerja yang merekomendasikan untuk menyelesaikan satu hal yang mudah terlebih dahulu di pagi hari, semisal membuka inbox dan membalas semua email. Tapi kalau kamu termasuk tipe orang yang bosan dengan rutinitas yang sama setiap pagi, kamu bisa mencoba memilih prioritas yang berbeda setiap harinya untuk diselesaikan di pagi hari. kamu bisa memulainya dari yang paling mudah atau justru dari tugas yang sudah kamu tunda paling lama. 

5. Tulis semua keluh kesah dan bebanmu
Mungkin kamu pernah terbangun dengan rasa cemas yang tak mampu diatasi dengan olahraga atau meditasi. Mungkin, itu saatnya kamu mengambil buku tulis dan menuliskan semua kegelisahanmu ke dalam tulisan tanpa harus menahan diri sendiri. Sebuah riset yang meminta para mahasiswa menulis semua kegelisahan mereka sebelum ujian terbukti mampu mendapat nilai yang lebih bagus. Berdasarkan riset tersebut, menulis ternyata membantu para mahasiswa melepaskan ketakutan mereka dan membuat pikiran mereka lebih enteng untuk menjawab soal ujian. Selain melepaskan beban pikiran, menulis kegelisahan juga dapat membantu kita menelusuri akar masalah yang sedang bergelayut di benak kita karena dengan menulis, kita “dipaksa” bercerita secara runut dan jelas dari awal sampai akhir yang tentu lebih manjur dibanding hanya memikirkannya dalam kepala secara acak.

6. Merapikan meja kerja
Semakin berantakan meja kerja, kamu akan semakin sulit fokus bekerja. Jika kamu dikelilingi oleh berbagai bacaan di meja kerja, kamu akan mudah tergoda untuk membacanya dan menunda pekerjaan. Sepulang kerja, sebelum mematikan komputer dan bersiap pulang, coba sisihkan waktu antara 5 sampai 10 menit untuk membereskan hal-hal yang berserakan di sekitar meja kerja yang dapat mendistraksimu. Simpan mereka di tempat yang lebih teratur atau tersembunyi seperti di laci meja atau file holder. 

Ketika sedang dalam program pengurangan berat badan atau diet, makan malam sering dianggap sebagai penghambat sehingga disarankan agar menghindari makan malam menjelang tidur. Kebiasaan makan sebelum tidur dapat membuat Anda cepat gemuk! Apa alasan dibalik pendapat tersebut? Ini dia jawabannya.

4 Jam Sebelum Tidur


Sebenarnya, tidak salah untuk mengkonsumsi makanan pada malam hari. Alasan sebenarnya adalah agar tidak makan dalam jangka waktu 4 jam sebelum tidur. Dengan kata lain, sebaiknya tidur dengan lambung yang sudah kosong. Karena diperlukan waktu sekitar 4 jam untuk mencerna makanan, maka berikan jeda waktu 4 jam dari sejak Anda makan sampai waktu tidur. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah karena saat tidur, tubuh mengeluarkan hormon pertumbuhan 30 menit setelah Anda tidur. Hormon ini juga dihasilkan pada saat Anda berolahraga. Ini adalah hormon yang berperan pada pertumbuhan dan bertugas untuk memecah lemak. Itulah sebabnya anak-anak sering dianjurkan agar tidur cukup karena semakin banyak tidur, hormon pertumbuhan yang dihasilkan akan meningkat dan sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Syarat agar hormon pertumbuhan dapat keluar dengan sempurna adalah lambung harus kosong. Jika hormon pertumbuhan keluar pada saat tidur, maka proses penguraian lemak akan semakin meningkat dan tubuh berada dalam keadaan siap membakar lemak. Hasilnya tubuh akan mudah menjadi langsing. Proses ini disebut sebagai katabolisme.
Hormon pertumbuhan akan semakin banyak dihasilkan jika suhu tubuh dalam keadaan hangat. Cara yang dapat dilakukan agar mencapai kondisi tersebut adalah dengan melakukan latihan otot selama 5 menit lalu berendam atau mandi dengan air hangat bersuhu 41 derajat sebelum tidur.

Kebiasaan Makan Sebelum Tidur


Akan terjadi hal sebaliknya jika Anda tidur dengan lambung terisi makanan. Jika Anda tidur dalam kondisi ini, maka hormon pertumbuhan tidak keluar sehingga tidak ada proses pemecahan lemak. Sebaliknya, makanan yang ada akan tertimbun menjadi lemak. Hasilnya, akan membuat tubuh menjadi gemuk. Proses ini disebut sebagai anabolisme.

Katabolisme dan Anabolisme


Secara singkat, proses katabolisme dan anabolisme dapat digambarkan seperti berikut:
Agar dapat memperoleh penurunan berat badan yang maksimal, maka jangan lupa berolahraga pada esok harinya agar lemak yang telah terpecah akan dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk energi. Olahraga yang cocok adalah olahraga aerobik seperti jalan atau lari pagi.
Apabila proses anabolisme yang terjadi (tidur dengan perut terisi makanan), maka hasilnya tidak akan maksimal walau Anda melakukan olahraga pada keesokan harinya karena tubuh harus mulai dari proses penguraian lemak. Sedangkan pada proses katabolisme, proses penguraian lemak sudah terjadi. Hasilnya, lemak yang dihancurkan tidak sebanyak jika ada proses katabolisme pada malam harinya.
Tidak makan 4 jam sebelum tidur bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan, khususnya untuk daerah perkotaan. Jalanan macet, lembur atau waktu bergaul dengan teman dapat membuat Anda pulang ke rumah lebih malam dengan tubuh yang sudah lelah dan harus bangun pagi esok hari. Hal biasa yang dilakukan adalah mengisi perut dan tidur untuk mengatasi rasa kantuk.
Mengingat dibutuhkan waktu 4 jam agar perut kosong sebelum tidur, Anda mungkin dapat mencoba untuk makan sebelum pulang ke rumah. Makanan akan lebih baik jika Anda membuatnya sendiri sehingga terjaga gisi dan kualitasnya walau akan sedikit merepotkan.

Jus dan Buah

Cara lain adalah dengan mengkonsumsi jus atau makan buah pada malam hari. Proses yang diperlukan untuk mencerna jus tidak selama apabila Anda makan makanan lainnya yang mengandung karbohidrat atau makanan yang mengandung lemak. Jika makan malam dengan menu biasa memerlukan waktu 4 jam sampai perut kosong, maka pada pencernaan jus atau buah hanya diperlukan 2 jam sampai perut kosong. Sehingga Anda dapat tidur lebih cepat.

HUKUM MERAYAKAN VALENTINE DALAM ISLAM



Sejarah Valentine Day dan Hukum Merayakannya dalam Islam

Sejarah Valentine Days
Menurut data dari Ensiklopedi Katolik, nama Valentinus diduga bisa merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda.

Hubungan antara ketiga martir ini dengan hari raya kasih sayang (valentine) tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Santo atau Orang Suci yang di maksud yaitu :
  • Pastur di Roma
  • Uskup Interamna (modern Terni)
  • Martir di provinsi Romawi Afrika.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti dari emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada tahun 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine (14 Februari), di mana peti dari emas diarak dalam sebuah prosesi dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu dilakukan sebuah misa yang khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Hari raya Valentine Days ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santo yang asal-muasalnya tidak jelas, meragukan dan hanya berbasis pada legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam, artinya, ” Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut ” (HR. At-Tirmidzi) .
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, ” Memberikan ucapan selamat terhadap acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut HARAM “.

Mengapa ? karena berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wata’ala. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah subhanahu wata’ala dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh.

Syaikh Muhammad al-Utsaimin ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan, ” Merayakan Hari Valentine itu tidak boleh ”, karena alasan berikut :
Pertama : Ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.
Kedua : Ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) -semoga Allah meridhai mereka.

Contoh kasus : ada seorang gadis mengatakan bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.

Saudaraku!! Ini adalah suatu kelalaian, mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah subhanahu wata’ala melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.

Di dalam ayat lainnya, artinya, ” Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22).

Jadi, kesimpulan dari hukum Perayaan Valentine adalah sebagai berikut :
Seorang muslim dilarang untuk meniru-niru kebiasan orang-orang di luar Islam, apalagi jika yang ditiru adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan, pemikiran dan adat kebiasaan mereka.
Bahwa mengucapkan selamat terhadap acara kekufuran adalah lebih besar dosanya dari pada mengucapkan selamat kepada kemaksiatan seperti meminum minuman keras dan sebagainya.
Haram hukumnya umat Islam ikut merayakan Hari Raya orang-orang di luar Islam.
Valentine’s Day adalah Hari Raya di luar Islam untuk memperingati pendeta St. Valentin yang dihukum mati karena menentang Kaisar yang melarang pernikahan di kalangan pemuda. Oleh karena itu tidak boleh ummat Islam memperingati hari Valentine’s tersebut.

INGAT ALLAH HATI MU AKAN TENANG



Ingatlah Allah Hati Mu Akan Tenang.

“Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang”

Kejujuran itu kakasih Allah. Keterusterangan merupakan sabun pencuci hati. Pengalaman itu bukti. Dan seseorang pemandu jalan tak akan membohongi rombongannya. Tidak ada satu pekerjaan yang lebih melegakan hati dan lebih agung pahalanya, selain berdzikir kepada Allah.


{Karena itu, inagtlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.} (QS. Al-Baqarah: 152)

Berdzikir kepada Allah adalah surga Allah di bumi-Nya. Maka, siapa yang tak pernah memasukinya, ia tidak dapat memasuki surga-Nya di akhirat kelak. Berdzikir kepada Allah merupakan penyelamat jiwa dari pelbagi kerisauan, kegundahan, kekesalan dan goncangan. Dan dzikir merupakan jalan pintas paling mudah untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan hakiki. Unutk melihat feadah dan manfaat dzikir, coba perhatikan kembali beberapa pesan wahyu Ilahi. Dan cobalah mengamalkannya pada hari-hari Anda, niscaya Anda akan mendapatkan kesembuhan.

Dengan berdzikir kepada Allah, awan ketakutan, kegalauan, kecemasan dan kesedihan akan sirna. Bahka, dengan berdzikir kepada-Nya segunung tumpukan beban kehidupan dan permasalahan hidup akan runtuh dengan sendirinya.

Tidak mengherankan bila orang-orang yang selalu mengingat Allah senantiasa bahagia dan tentram hidupnya. Itulah yang memang seharusnya terjadi. Adapun yang sangat mengherankan alah bagaimana orang-orang yang lalai dari dzikir kepada Allah itu justru menyembah berhala-berhala dunia. Padalah,  

{(Berhala-berhala) itu mati tidak hidup dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembahan-penyembahnya akan dibangkitkan.} (QS. An-Nahl: 21)

Wahai orang yang mengeluh karena sulit tidur, yang menangis karena sakit, yang bersedih karena sebuah tragedi, dan yang berduka karena suatu musibah, sebutlah nama-Nya yang kudus! Betapapun,

{Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?} (QS.Maryam: 65)

Semakin banyak Anda mengingat Allah, pikiran Anda akan semakin terbuka, hati Anda semakin tentram, jiwa Anda semakin bahagia, dan nurani Anda semakin damai sentausa. Itu, karena dalam mengingat Allah terkandung nilai-nilai ketawakalan kepada-Nya, keyakinan penuh kepada-Nya, ketergantungan diri hanya kepada-Nya, kepasrahan kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya, dan pengharapan kebahagiaan dari-Nya. Dia senantiasa mengaulkan jika dimohon. Rendahkan dan tundukkan diri Anda ke hadapan-Nya, lalu sebutlah secara berulang-ulang nama-Nya yang indah dan penuh berkah itu dengan lidah Anda sebagai pengejawantahan dari ketuhidan, pujian, doa, permohonan dan permintaan ampunan Anda kepada-Nya.

Dengan begitu, niscaya Anda – berkat kekuatan dan pertolongan dari-Nya-akan mendapatkan kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, cahaya penerang dan kegembiraan. Dan,


{Karena itu Allah menberikan kepada mereka pahala di dunia, dan pahala yang baik di akhirat.} (QS. Ali ‘Imran: 148)

Bagian Tubuh Wanita Yang Wajib Ditutup Ketika Shalat




Mengenai Bagian Tubuh Wanita Yang Wajib Ditutup Ketika Shalat, ada beberapa keadaan yang wajib diperhatikan terkait hal ini.

1. Jika seorang wanita shalat bersama orang asing (bukan mahram) maka ia wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[1] Pendapat ini menurut jumhur ulama. [2]

2. Jika di antara bagian tubuhnya yang wajib ditutup ketika shalat ada yang terlihat, dan saat itu terdapat orang yang bukan mahram, maka dia berdosa namun shalatnya tidaklah batal –menurut pendapat yang shahih dari para ulama– karena tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dapat membatalkan shalat.

3. Jika saja seorang perempuan shalat sendirian, bersama suami atau mahram maka dibolehkan baginya membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya ketika shalat. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Sedangkan mengenai rambut seorang perempuan ketika shalat, maka terdapat hadits yang menyatakan:

لاَ يَقْبَلُ اَللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ 

“Allah tidaklah menerima shalat wanita yang telah baligh kecuali ia mengenakan jilbab (kain penutup kepala).”[3]

Hadits ini meskipun Dhaif (lemah), Imam At-Tirmidzi mengatakan setelahnya, "Dan yang diamalkan oleh para ulama: bahwa seorang wanita yang telah baligh, kemudian ia melaksanakan shalat, namun sebagian dari rambutnya terbuka, maka tidak dibolehkan shalatnya. Hal ini merupakan pendapat Syafi'i. Ia mengatakan, tidak boleh seorang wanita mengerjakan shalat sedangkan sebagian dari tubuhnya terbuka."

Namun apabila terbuka sedikit saja dari rambutnya atau tubuhnya maka shalatnya sah dan ia tidak perlu mengulanginya lagi –menurut mayoritas ulama– yang itu juga merupakan madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Namun jika yang terbuka banyak, maka dia harus mengulangi shalatnya pada saat itu juga, hal tersebut menurut mayoritas ulama, yaitu Imam empat madzhab dan yang lainnya.[4]


Telapak Kaki Wanita Dalam Shalat



Hadits dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:

أَتُصَلِّي اَلْمَرْأَةُ فِي دِرْعٍ وَخِمَارٍ , لَيْسَ عَلَيْهَا إِزَارٌ ? قَالَ : "إِذَا كَانَ اَلدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا

“Apakah seorang wanita boleh shalat dengan mengenakan jilbab dan baju saja tanpa mengenakan sarung? –Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab– "Ya, jika baju tersebut dapat menutup sesuatu yang terbuka dari kedua telapak kaki". hadits ini Dhaif .[5]

Imam Syafi'i juga menyatakan dalam kitabnya al-Umm (1/77), "Dan seluruh tubuh wanita itu adalah aurat –maksudnya di dalam shalat– kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya."

Imam At-Tirmidzi menukilkan dari Imam Syafi'i pernyataannya, "Dan telah dikatakan apabila punggung telapak kakinya terbuka maka shalatnya sah". Pendapat ini juga merupakan pendapat dalam madzhab Abu Hanifah sebagaimana yang telah dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu' Fatawa (22/123).

Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat. Bahkan Imam Ahmad berkata, "Wanita itu shalat –dengan menutup tubuhnya– hingga tak terlihat darinya apapun hingga kukunya sekalipun"

Penulis Berkata: Pendapat yang dinilai rajih (kuat) adalah; dibolehkan seorang wanita yang shalat –tanpa adanya non-mahram– dalam keadaan punggung telapak kaki terbuka, meskipun lebih hati-hatinya untuk shalat dengan menutup keduanya.Wallahu A'lam.

4. Dianjurkan bagi wanita shalat dengan pakaian yang menutup badannya, dan selama pakaian tersebut lebih tertutup, maka itu lebih utama.

Imam syafii mengatakan, mayoritas ulama sepakat bahwa wanita shalat dengan mengenakan baju panjang dan jilbab, jika lebih dari itu maka lebih baik. Karena ketika shalat dia merenggangkan kedua tangannya dari rusuk saat rukuk dan sujud. Dengan memakai jilbab maka tidak akan membentuk bagian pinggul dan aurat lainnya.

5. Apabila ia hamba sahaya maka hukumnya sama seperti wanita yang merdeka. Namun ia boleh shalat dengan terbuka rambutnya. Demikian pendapat jumhur ulama kecuali Hasan dan Atha’.

6. Wanita yang masih kecil yang belum haidh maka ia tidak wajib menggunakan jilbab ketika shalat. Demikian menurut Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (3/113) dengan sanad shahih dari Ibnu Juraij. Ia berkata: aku bertanya kepada Atha’: “bagaimana shalatnya wanita yang masih kecil?” Ia menjawab: “cukup baginya memakai kain sarung.”

Catatan Tambahan:


Jika Aurat Seseorang Tersingkap Tanpa Sengaja Ketika Shalat, Apakah Batal Shalatnya?



Jumhur ulama berpendapat, bahwa orang yang terbuka sebagian auratnya ketika shalat –meskipun tanpa sengaja– maka shalatnya batal jika tidak langsung ditutup. Namun ulama madzhab Hanafi membatasi dengan seperempat bagian aurat, jika terbuka maka dapat membatalkan shalat ketika bagian tersebut terbuka selama waktu mengerjakan rukun.[6] Sedangkan ulama madzhab Hanbali berpendapat jika aurat seseorang terbuka dalam waktu singkat, seperti baju yang tersingkap oleh hembusan angin sehingga auratnya pun terlihat maka tidaklah batal shalatnya. Demikian halnya jika aurat terbuka dengan celah yang kecil meskipun terbukanya itu dalam waktu yang lama.[7] Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh hadits Amru bin Salamah radhiallahu 'anhu, berkata: Ayahku pergi untuk menjumpai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersama orang-orang dari kaumnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengajari mereka shalat, beliau pun bersabda:

يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ. وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِى فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَىَّ بُرْدَةٌ لِى صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ فَكُنْتُ إِذَا سَجَدْتُ تَكَشَّفَتْ عَنِّى فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ النِّسَاءِ وَارُوا عَنَّا عَوْرَةَ قَارِئِكُمْ. فَاشْتَرَوْا لِى قَمِيصًا عُمَانِيًّا فَمَا فَرِحْتُ بِشَىْءٍ بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحِى بِهِ 

"Yang menjadi imam shalat bagi kalian adalah yang paling pandai bacaan Al-Qur'annya" dan aku saat itu adalah yang paling pandai membaca Al-Qur'an di antara yang lainnya, karena aku telah hafal –banyak dari ayat Al-Qur'an– maka mereka mengajukanku untuk menjadi imam, lalu aku pun mengimami mereka. Saat itu aku mengenakan Burdah (jubah lelaki) berukuran kecil dan berwarna kuning, jika aku sujud terbuka –sebagian auratku– lalu jamaah wanita pun berkata, "Tutuplah aurat imam kalian dari pandangan kami" kemudian mereka membelikanku baju buatan Amman, aku merasa seakan inilah kebahagiaanku paling tinggi semenjak masuk Islam.”[8]

Dari hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat kala itu tidaklah mengingkari terbukanya sebagian aurat Amru bin Salamah (dengan menyatakan batalnya shalat.

Penulis berkata: Bahwa pendapat inilah yang benar, hanya saja wajib bagi orang yang terbuka auratnya ketika shalat –dan ia mengetahuinya– agar semampu mungkin menutupnya.


Shalat Bagi Orang Yang Tidak Mampu Menutup Auratnya[9]



Ulama sepakat, bahwa orang yang tidak menemukan sesuatu untuk menutup auratnya maka hukum shalat baginya tidaklah gugur (tetap wajib). Namun ulama berbeda pendapat tentang bagaimana tata-cara shalat dalam kasus seperti itu? Jumhur ulama berpendapat, jika orang tersebut tidak menemukan pakaian penutup aurat kecuali pakaian yang terkena najis atau kain sutera (untuk pria) maka ia wajib memakainya. Jika masih tidak menemukan sama sekali, maka ia boleh shalat dalam keadaan pakaian yang tidak lengkap menutupi auratnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wata'ala:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”[10]

Sedangkan ulama madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat, bahwa orang tersebut memiliki pilihan, apakah dia akan melaksanakan shalat dalam keadaan duduk atau berdiri. Dan mereka menganjurkan agar orang tersebut sujud dan ruku' menggunakan isyarat (tanda) karena itu lebih menutup aurat.

Namun ulama madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat, bahwa orang tersebut harus shalat dalam keadaan berdiri dan tidak boleh duduk.

Lalu, apakah orang tersebut harus mengulangi shalatnya jika kemudian ia menemukan sesuatu untuk menutup aurat? Pendapat yang benar menyatakan, bahwa ia tidak perlu lagi mengulang shalatnya sebagaimana pendapat ulama madzhab Syafi 'i dan Hanbali. Wallahu a'lam.


Berhias Dan Berdandan Ketika Hendak Shalat



Boleh shalat dengan satu pakaian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun dianjurkan bagi seseorang yang akan melaksanakan shalat, agar ia mengenakan pakaian lebih dari satu dan menghias dirinya semampu mungkin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala:

خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Pakailah pakaianmu yang indah di setiap –memasuki– masjid.” ( Al-A’raf: 31)

Maksudnya, pakailah pakaianmu yang indah di setiap melaksanakan shalat.

Dan juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَلْبَسْ ثَوْبَيْهِ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَقُّ مَنْ يُزَيَّنَ لَهُ 

“Jika seorang di antara kalian ingin melaksanakan shalat, maka kenakanlah dua pakaian (atas dan bawah) karena berhias itu lebih utama untuk menghadap Allah Subhanahu wata'ala.”[11]



Footnote:
[1]. Dinukil dari kitab penulis berjudul "Fiqhu-Sunnah Lin-Nisaa'" Hal: 81-83 Cet. At-Taufiqiyah
[2] Mengenai permasalahan membuka majah dan kedua telapak tangan terdapat perbedaan antara ulama. Hal tersebut akan dibahas secara rinci dalam babnya.
[3]. Hadits Riwayat: Abu Daud (641), At-Tirmidzi (377) dan selainnya, namun dinyatakan memiliki 'Illah oleh beberapa ulama. Lihat: "Jami' Ahkam Nisaa'" (1/310)
[4]. Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah (22/123), Lihat: al-Mughni - Ibnu Qudamah (1/601)
[5] Hadits Riwayat: Abu Daud (640), Al-Baihaqi (2/232) dengan sanad Dha'if baik secara Marfu' maupun Mauquf
[6] Ibnu Abidin (1/273), al-Mawahib (1/498), al-Majmu' (3/166)
[7] Kasyaf al-Qanna` (1/269)
[8] Hadits Riwayat: Al-Bukhari (4302), Abu Daud (585) dan lafadz hadits tersebut dari Abu Daud
[9] Ibnu Abidin (1/275), ad-Dasuqi (1/216), al-Majmu' (3/142, 182), Kasyaf al-Qanna` (1/270)
[10] Al-Qur`an Surat: at-Taghabun: 16
[11] Hadits Riwayat: al-Baihaqi (2/236), lihat: al-Majmu' (2/54)

Hukum Perceraian Dalam Pandangan Islam


Berdasarkan informasi yang di sampaikan pihak kemenag melalui laman republika online bahwa tingkat perceraian di Indonesia tahun 2016 mencapai 350 ribu kasus, grafiknya dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain itu faktor pemicu perceraian juga cukup beragam. Sungguh kondisi ini sangat memprihatinkan melihat mayoritas pasangan yang melakukan perceraian adalah pasangan muda dan notabene beragama islam. Lalu bagaimana hukum perceraian dalam pandangan islam?

Definisi Cerai (talak)


Kata ath-thalaq (talak) secara etimologi berarti melepas belenggu dan mengurai ikatan. Kata ini merupakan bentuk turunan dari kata al-ithlaq yang berarti melepas dan membiarkan.

Sedangkan secara terminologi syariat, ath-thalaq adalah melepas ikatan pernikahan dengan lafazh talak (cerai) dan semisalnya, atau memutus ikatan pernikahan seketika itu juga (yaitu dengan talak bain) atau pada waktu mendatang (yaitu setelah lepas masa iddah dengantalak raj‘i) dengan menggunakan lafazh tertentu.

Pernikahan yang dimaksud di sini adalah khusus pernikahan yang sah. Adapun pernikahan yang fasid, maka talak tidak sah padanya karena yang ada adalah mutarakah atau fasakh.

Fasakh berbeda dari talak. Fasakh adalah batalnya akad dan menghapus pengaruh-pengaruh dan hukum-hukum yang diakibatkannya, sedangkan talak tidak membatalkan akad, tetapi hanya mengakhiri pengaruh-pengaruhnya.

Mutarakah adalah tindakan pihak laki-laki meninggalkan perempuan yang telah dia ikat dengan akad yang fasid, baik dia meninggalkannya sebelum berhubungan badan dengannya ataupun sesudahnya. Jadi, mutarakah serupa dengan talak dalam hal hak mengakhiri pengaruh-pengaruh pernikahan, dan bahwa ia adalah hak suami saja. Di sisi yang lain,mutarakah berbeda dari talak dalam hal bahwa ia tidak dihitung sekali dan bahwa ia khusus berlaku pada akad yang fasid dan persetubuhan yang terjadi karena syubhat, sedangkan talak hanya khusus berlaku pada akad yang sah.

Dasar Hukum Talak


Talak ditetapkan sebagai syariat berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ijma’, dan logika.

A. Dari al-Qur’an


1. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[2]

2. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ (236) وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

“Tidak ada kewajiban atas kalian membayar (mahar) jika kalian mentalak istri-istri kalian sebelum kalian bersebadan dengan mereka dan sebelum kalian menentukan mahar untuk mereka. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut‘ah (pemberian) kepada mereka di mana orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Cara yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Jika kalian mentalak istri-istri kalian sebelum kalian bersebadan dengan mereka, padahal sesungguhnya kalian sudah menentukan mahar untuk mereka, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu.”[1]

3. Firman Allah Subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ

“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah mereka (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu.”[2]

4. Allah azza wa jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian mentalak mereka sebelum kalian bersebadan dengannya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian minta menyempurnakannya.”[3]

5. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ

“Apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).”[4]

B. Dari as-Sunnah


1. Dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjatuhkan talak kepada Hafshah radhiallahu ‘anha lalu merujuknya kembali.[5]

2. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Aku pernah mempunyai istri yang sangat aku cintai. Sayangnya, Umar tidak menyukainya. Dia berkata kepadaku, ‘Ceraikan dia.’ Namun, aku menolak melakukannya. Umar kemudian menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menceritakan hal itu kepada beliau. Akhirnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadaku,

طَلِّقْهَا

“Ceraikan dia.”[1]

3. Dari ‘Ashim bin Laqith bin Shabrah dari ayahnya dari kakeknya (yaitu Shabrah) --seorang utusan Bani Muntafiq kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-- bahwa dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang istri.” --Kemudian dia menyebutkan sifat istrinya yang panjang lidah (buruk tutur katanya).-- Mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

طَلِّقْهَا

“Ceraikan dia.”

Shabrah berkata, “Wahai Rasulullah, dia telah menjadi teman hidupku dan telah memberiku anak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَأَمْسِكْهَا وَأْمُرْهَا، فَإِنْ يَكُ فِيهَا خَيْرٌ فَسَتَفْعَلْ وَلَا تَضْرِبْ ظَعِينَتَكَ ضَرْبَكَ أَمَتَكَ

“Kalau begitu, pertahankan dia. Dan nasihati dia karena jika memang ada kebaikan pada dirinya, pastilah dia akan menerimanya. Dan jangan kamu pukul istrimu itu seperti kamu memukul budak perempuanmu.”[2]

C. Dari ijma’ dan Logika


Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Manusia telah berijma’ tentang bolehnya talak. Logika yang sehat pun menunjukkan bolehnya talak. Sebab, kerusakan bisa saja menimpa hubungan suami istri sehingga mempertahankan pernikahan justru akan menyebabkan dampak yang sangat buruk (bagi kedua pihak), dengan mengharuskan suami untuk tetap menanggung nafkah dan tempat tinggal, dan menahan istri untuk tinggal di rumah di tengah-tengah hubungan yang tidak harmonis dan pertengkaran yang terus menerus tanpa guna. Maka, keadaan itu mengharuskan adanya syariat yang dapat memutus ikatan pernikahan seperti itu sehingga hilang mafsadat yang ditimbulkannya.”[3]

Hukum Taklifi Talak


Setelah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berijma’ bahwa talak disyariatkan, para ulama kemudian berbeda pendapat mengenai hukum taklifi talak.[4]

Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal talak adalah mubah, tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya --karena talak mengandung unsur pemutusan ikatan kasih sayang-- kecuali jika ada faktor pemicunya. Hanya saja, dalam beberapa kondisi, hukum asal ini bisa berubah.

Ulama yang lain berpendapat bahwa hukum asalnya adalah terlarang (al-hazhr), namun dalam beberapa kondisi hukumnya bisa berubah. Landasan pendapat mereka adalah hadits:

أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ

“Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian.”[1]

Akan tetapi, hadits ini dha‘if.

Bagaimana pun juga, pada akhirnya, para ahli fiqih sepakat bahwa talak diliputi oleh kelima hukum taklifi sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupinya.

1. Haram, misalnya: mentalak istri yang sedang haid, atau mentalaknya saat suci setelah bersetubuh dengannya, yang dikenal dengan istilah talak bid‘ah sebagaimana akan dijelaskan nanti. Ini telah disepakati keharamannya. Demikian pula haram mentalak istri jika suami khawatir dirinya akan terjatuh ke dalam perzinaan sebagai akibatnya.

2. Makruh, yaitu saat tidak ada alasan untuk melakukannya, sementara hubungan antara suami dan istri baik-baik saja. Boleh jadi yang seperti ini menjadi haram menurut sebagian ulama.

Penulis berkata: Dalil yang sering digunakan untuk menunjukkan keharaman atau kemakruhan talak adalah hadits Jabir radhiallahu ‘anhu di mana dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا، قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ، قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ

“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air lalu mengirim bala tentaranya (ke segala penjuru). Tentara Iblis yang punya kedudukan paling dekat dengan Iblis adalah yang mampu menimbulkan fitnah paling besar. Salah satu di antara mereka datang lalu berkata, ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kau belum melakukan apa-apa.’ Lalu yang lain datang dan berkata, ‘Tidaklah aku meninggalkan si fulan melainkah aku telah berhasil memisahkan dirinya dari istrinya.’ Iblis pun mendekatkan dia kepadanya lalu berkata, ‘Kau adalah sebaik-baik tentaraku.”[2]

Begitu juga, hadits dari ‘Amru bin Dinar, dia berkata, “Umar radhiallahu ‘anhu pernah mentalak salah seorang istrinya, lalu sang istri berkata, ‘Apakah ada sesuatu dari diriku yang tidak kamu sukai?’ Umar menjawab, ‘Tidak ada.’ Istrinya berkata, ‘Lalu apa alasanmu menceraikan istri yang selalu menjaga dirinya lagi muslim?” ‘Amru kemudian berkata, “Maka Umar merujukinya kembali.”[3]

3. Mubah, yaitu saat ada kebutuhan untuk melakukannya karena akhlak istri yang jelek, sikapnya yang buruk dalam mempergauli suami, serta suami merasa hanya mendapat mudharat darinya sedangkan tujuan yang diinginkan dengan menikahinya tidak tercapai.

4. Mustahab, yaitu jika istri telah mengabaikan hak-hak Allah Subhanahu wata’ala yang menjadi kewajibannya, seperti shalat dan semisalnya, sementara suami tidak kuasa memaksa istri melaksanakan kewajiban tersebut, atau istri bukanlah perempuan yang menjaga kehormatan dirinya. Disunnahkan talak dalam kondisi ini karena jika suami tetap mempertahankan istrinya, maka hal itu justru akan merusak keteguhannya dalam agama, serta kehormatan keluarganya tidak akan aman dari kemungkinan dirusak oleh istri dengan perselingkuhan dan menisbatkan kepadanya anak yang bukan anaknya. Maka dalam kondisi seperti itu, tidak mengapa suami menekan dan membatasi ruang gerak istrinya agar dia mau menebus dirinya (dengankhulu’). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ

“Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.”[1]

Terkadang dalam kondisi ini talak menjadi wajib.

5. Wajib, misalnya bagi suami yang melakukan ila’ --akan datang nanti penjelasan hukum-hukum ila’-- jika suami tersebut menolak kembali ke istrinya setelah melewati masa menunggu (tarabbush) menurut pendapat jumhur. Atau talak yang dijatuhkan oleh dua juru damai (hakim), yang ditunjuk oleh pasangan suami istri ketika terjadi keretakan hubungan di antara mereka, jika keduanya merasa tidak mampu lagi mendamaikan suami istri tersebut dan berpendapat bahwa talak adalah jalan yang terbaik.

Hak Talak di Tangan Suami


Allah Subhanahu wata’ala memberi hak menceraikan istri kepada suami jika suami memang memiliki alasan-alasan yang kuat untuk melakukan hal itu dengan pertimbangan dan keinginannya sendiri.[2] “Allah tidak menjadikan hak talak berada di tangan istri sekalipun istri bersekutu dengan suami dalam akad pernikahan. Hal itu demi menjaga kelanggengan pernikahan dan mempertimbangkan risiko-risiko pemutusan ikatan pernikahan dengan cara yang cepat dan terburu-buru. Laki-laki biasanya lebih banyak pertimbangan dalam menyikapi masalah-masalah yang dihadapinya dan lebih kecil kemungkinannya bertindak ceroboh. Sebaliknya, perempuan biasanya lebih sering terpengaruh dengan perasaannya sehingga bisa jadi jika hak talak diberikan kepadanya, dia akan menjatuhkan talak hanya karena alasan-alasan yang sepele.

Selain itu, talak memerlukan biaya-biaya yang akan membuat suami bersikap penuh pertimbangan dalam menjatuhkan talak. Sebaliknya, perempuan tidak dirugikan secara finansial dengan jatuhnya talak. Karena itu, dia tidak akan berpikir jauh dalam menjatuhkan talak (jika hak talak ada di tangannya) karena cepat dikuasai oleh perasaan dan emosi.”[1]

Terkadang selain suami bisa juga menjatuhkan talak, baik dengan bertindak sebagai pengganti suami, seperti dalam perwakilan dan kuasa hukum,[2] atau bukan sebagai pengganti suami, seperti hakim dalam beberapa keadaan yang darurat. Wallohu a'lam.

Demikian penjelasan seputar hukum perceraian dalam pandangan islam. Semoga bermanfaat. Aamiin


Footnote:
[1] Al-Misbah al-Munir, Ibnu ‘Abidin (III/226), Mughni al-Muhtaj (III/279), dan al-Mughni (VII/297).
[2] Surat al-Baqarah:229.
[3] Surat al-Baqarah:236-237.
[4] Surat ath-Thalaq:1.
[5] Surat al-Ahzab:49.
[6] Surat al-Baqarah:231.
[7] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (2283), an-Nasa’i (VI/213), Ibnu Majah (2016), dan selain mereka.
[8] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (5138), at-Tirmidzi (1189), dan Ibnu Majah (2088).
[9] Shahih. Hadits Riwayat: Abu Dawud (142) dn Ahmad (IV/33).
[10] Al-Mughni (VII/96). Lihat: al-Ifshah karya Ibnu Habirah (II/147).
[11] Ibnu ‘Abidin (III/227), Fath al-Qadir (III/21), ad-Dasuqi (II/361), al-Mughni (VII/97), Kasyf al-Qana‘(V/261), Mughni al-Muhtaj (III/279).
[12] Dha‘if. Hadits Riwayat: Abu Dawud (2177-2178), al-Baihaqi (VII/322), Ibnu Abi Syaibah (V/253), dan selain mereka. Statusnya yang tepat adalah mursal. Lihat: al-‘Ilal karya Ibnu Abi Hatim (I/431), at-Talkhish (III/205), dan al-‘Ilal al-Mutanahiyah (II/638).
[13] Shahih. Hadits Riwayat: Muslim.
[14] Isnadnya shahih. Hadits Riwayat: Sa‘id bin Manshur dalam sunannya (1099).
[15] Surat an-Nisa’:19.
[16] Hal itu karena pihak yang diseru (al-mukhathab) untuk mentalak dalam ayat-ayat dan hadits-hadits di atas adalah para suami dan bukan para istri. Untuk menguatkan hal itu pula, para ulama berdalil dengan suatu riwayat marfu‘ yang berbunyi: “Sesungguhnya hak menjatuhkan talak itu milik orang yang memiliki hak memegang betis perempuan (yaitu suami).” Hanya saja, hadits ini dha‘if dan Hadits Riwayat: Ibnu Majah (2081) dan al-Baihaqi (VII/360) dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.
[17] Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (VII/360) dengan sedikit perubahan.
[18] Akan dijelaskan nanti tentang pewakilan dan kuasa hukum dalam masalah talak ini.